Lingkaran


Kemarin saya cuti. Dan hari ini, setelah masuk ternyata gosip saya cuti karena katanya saya lamaran. Haha
Lucu. Karena saya cuti bukan untuk lamaran. Lucu. Karena ternyata mereka memperhatikan saya. Lucu karena ketika teman saya yang lain baru masuk kerja karena sehari sebelumbnya cuti tidak seheboh ketika saya masuk kerja setelah cuti. Haha. Terimakasih atas perhatiannya. =)

Baiklah. Bukan masalah cuti yang ingin saya bicarakan. Tapi ada hal lain yang lebih mendasar dan lebih ilmiah. (biar terkesan pinter)

Semalem, seseorang bbm saya. Menanyakan apakah benar saya lamaran?. lalu saya jawab: 'apa peduli lo?!'. Hehe. Nggak deng. Saya cuma menjawab seperlunya saja. Saya bilang saja kalau saya memang nggak lamaran. Trus kata orang itu, 'Alhamdulillah. Gw nggak ikhlas kalo lo lamaran soalnya. =D'. Kata-kata lengkapnya lupa sih. Tapi kira-kira begitulah.
Hmmm.

Tahukah, ternyata berdiam diri itu memberi kita banyak kesempatan untuk berpikir dan merenung. Bergerak memang bagus. Karena hanya dengan bergerak kita dapat melihat hal-hal baru. Karena dengan bergerak kita dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Dan karena dengan bergerak kita akan mendapat ilmu-ilmu baru. Tetapi bergerak tanpa berdiam diri akan membuat kita lupa tujuan awal. Ya, kadang memang begitu.

Sekembalinya dari rumah sepupu saya, kemarin saya memang lebih punya banyak waktu.

Ini hal lain lagi, masih Kemarin juga sih. Siang-siang seorang kawan lama bbm mengabarkan kalau si Juli dan Panji mau nikah bulan depan. Alhamdulillah. Selamat yah =). 
Saya tanya kok bisa Juli & Panji jadian? Padahal semasa SMA setau saya mereka tidak saling kenal. Karena Panji adalah senior kami yang agak pendiam.
Jadi ceritanya, Panji ini tadinya suka sama temen saya, si Dije. Tapi karena Dije nggak suka, ahirnya sama Dije dikenalinlah ke Juli. saya hanya ber 'o' saja. Memangnya harus berkomentar apalagi?.
Ya, memang kita tidak bisa menyangka jodoh seseorang.

Lalu saya teringat sesuatu. Haha. Menurut saya agak lucu. Dulu, sebelum Dije menikah dengan suaminya, hal serupa juga pernah dilakukannya pada saya. Maksudnya dulu itu Dije nggak suka sama suaminya (masih calon dulu kan). Waktu Dije terus terusan dideketin sama si calon, Dije menolak mentah-mentah. Malah menyuruh saya saja yang dikenalin ke si calon. Entah karena dasar apa waktu itu saya menolak saja. Saya bilang saya nggak mau ambil lahan orang. Haha. Entah bagaimana kata-kata itu terlontar begitu saja.
Waktu saya tanya kenapa Dije menolak si calon, dia bilang :
"Duh, Dia itu bukan tipe gue banget! Nggak deh pokoknya!"
Saya masih ingat betul itu karena dia mengulang kata-kata itu berkali-kali.

Lalu, apa yang terjadi sekarang?. Saat saya tanya 'kenapa' si Dije hanya menjawab 'nggak tau'. Lalu saya tanya lagi 'apa perasaannya sekarang?'. Dia menjawab 'SANGAT BAHAGIA!'.

Masih cerita serupa namun beda orang. Teman saya yang lain, si ucup. Sekitar 3 tahun lalu, si Ucup mengalami hal serupa. Seorang laki-laki teman kuliahnya terus menerus mendekatinya. Bukan masalah kalau si Ucup juga menyukainya. Masalahnya, Si Ucup kayaknya ogah banget. Berkali-kali Ucup curhat sama saya mengenai laki-laki ini. Waktu saya tanya kenapa nggak suka?. Dia bilang 'Nggak tau. Nggak suka aja. Lagian ada laki-laki lain yang sedang gue incar, temen gue. Temen dia juga.'

Oh. Jadi ruang kosong telah diisi oleh laki-laki lain. Ya, saya maklumi.
Tapi, dilain hari kemudian si Ucup datang lagi kepada saya membawa kebingungan dihatinya.
"Gimana dong, dia sms-in gue terus. Nelponin gue. Perhatian banget sama gue. Malah sekarang ngajak jalan gue." katanya meminta pendapat saya. Salah orang sepertinya dia minta pendapat. Karena saya orangnya susah memberikan masukan ke orang lain. Apalagi menyangkut hati orang. Kan saya nggak tau apa yang ada di hati Ucup walaupun dia teman dekat saya. Takut salah aja gitu.

Ahirnya mereka memang jalan berdua.
 
Lebaran Tahun 2012 kemarin di Jogjakarta, saya bertemu mereka berdua yang tengah mudik dan saya yang tengah travelling.
Kami makan lesehan di Malioboro. Ditengah-tengah makan itu tiba-tiba laki-laki itu, si Dudi menjabat tangan saya. Saya kaget. Asli. Karena disitu kan ada Ucup. Takut tiba-tiba saya di hipnotis gitu. Haha.

"Terimakasih banyak ya waktu itu udah ngasih masukan ke istri gue biar dia mau jalan bareng gue"

Saat itu saya agak bengong. Memang saya pernah ngasih masukan begitu? Beneran saya lupa. Karena kejadian itu sudah agak lama. Lalu kemudian Ucup mengingatkan saya kembali bahwa saya memang pernah mengusulkan itu.

"Iya. Ucup bilang elo yang ngeladenin dia kalo curhat tentang gue kan??"Dudi menambahkan.

Haha. Memang begitu ya? Saya juga lupa. Iya kali. =p

Ya. Ahirnya kemarin itu dalam diam saya memang banyak merenung. Merenung tentang kejadian-kejadian yang ada disekitar saya. Yang tanpa sadar namun sering terabaikan, mungkin saja kita merupakan salah satu rangkaian  dalam kehidupan seseorang. Dan orang lain, seseorang atau banyak orang, merupakan bagian dari rangkaian hidup kita. Seperti seutas tali yang menghubungkan ke tali-tali berikutnya sampai membentuk sebuah lingkaran. Siapa yang menyangka ajaibnya hidup ini?.

Lalu, pelajaran yang paling dasar yang saya dapat adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan hati. Mereka, teman-teman saya itu telah mau mengorbankan hati mereka untuk sekedar mencoba. Merelakan rasa suka kepada seseorang untuk mengorbankan hatinya pada orang lain. Memang tidak ada jaminan bahwa mereka akan hidup bahagia atau tidak bahagia dengan orang yang mereka tidak suka. Tapi setidaknya dengan bergerak dan tidak berdiam diri menunggu akan menghasilkan sesuatu bukan? Kebebahagiaan, atau ketidakbahagiaan. Gambling memang. Tapi setidaknya kita sudah bergerak daripada berdiamdiri menunggu yang tak pasti.

Bisa saja saya bilang 'iya' kepada seseorang. Entah bagaimana kelanjutannya, pokoknya bilang saja 'iya'!
Kenapa ketika seseorang rajin nanyain kabar saya padahal saya baru pasang status 'aduh, sakit' lalu saya akan mengumpat dalam hati? Padahal itu adalah usahanya untuk membuka hati saya. Itu hak dia. Kenapa saya mesti sebal?
Lalu ketika seseorang bilang tidak ikhlas kalau saya lamaran, kenapa saya mesti berang?.

Tapi muncul lagi kesebalan berikutnya tentang kata-kata 'nggak ikhlas'.
Bukankah kalau dia memang mencintai saya, harusnya dia juga bahagia kalau saya bahagia? Walaupun bahagianya saya bukan dengan dia. Tapi orang lain. Harus ikhlas dong. Kalau nggak ikhlas namanya bukan cinta. Hanya nafsu ingin memiliki saja.

Lalu muncul lagi perenungan berikutnya. Lalu, apa yang telah saya lakukan selama ini dengan si mantan dan mantannya mantan itu? Kenapa kadang muncul kebencian dengan mereka berdua?

Lagi-lagi ini menjadi seperti lingkaran.

Dan pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah 'apa betul saya mencintai mantan? Bukan cuma sekedar nafsu karena ingin memilikinya?'

Harusnya saya ikhlas. Saya ikhlas si mantan bahagia dengan siapa saja, walaupun bukan dengan saya. Harusnya saya turut berbahagia, karena saya mencintainya.



Lalu, kenapa saya tidak bergerak dan terus berdiamdiri?

Itu karena saya terlalu pengecut untuk sebuah gambling.

Saya lebih memilih mencintai daripada dicintai. Walaupun itu akhirnya akan melukai saya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Bobblehead Bunny